PENDAHULUAN
Salah satu cara meningkatkan kesejahteraan nasional dapat dilakukan dengan Pembangunan Ekonomi. Desa merupakan agen pemerintah terdepan untuk melaksanakan pembangunan ekonomi. Desa menjadi agen pemerintah yang secara langsung berkenaan dengan masyarakat. Masyarakat pedesaan atau desa dapat diartikan sebagai masyarakat yang memiliki hubungan yang lebih mendalam dan erat dan sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan.
Dalam menjalankan kehidupan ekonomi, Allah telah menerapkan norma-norma yang merupakan batasa-batasan perilaku manusia sehingga menguntungkan suatu individu tanpa merugikan individu yang lain. Islam datang tidak hanya mengatur hubungan individu dengan Allah SWT saja, melaikan mengatur banyak hal termasuk sosial dan ekonomi. Kehidupan manusia tidak lepas dari ekonomi, hampir setiap kegiatan melibatkan ekonomi. Kegiatan ber-muamalah yang dilakukan manusia haruslah berdasarkan ketentuan-ketentuan umum yang ada dalam syara’ seperti larangan riba, gharar, dan maysir. Maka dari itulah manusia memerlukan pedoman dalam aktivitas ekonomi, untuk membangun ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai ekonomi syariah.
Tidak sedikit masyarakat pedesaan yang belum memahami nilai-nilai ekonomi syariah. Banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut dari pola pikir, pengetahuan hingga kebiasaan atau adat istiadat (urf’). Beberapa hasil Penelitian menunjukkan adanya riba, gharar, dan maisir yang melekat pada masyarakat pedesaan (Rahmawati Muin dan Hadi, 2018). Menghadapi masyarakat yang masih enggan untuk menerapkan nilai-nilai ekonomi syariah mengerucut pada satu hal yaitu metode dakwah (Lely Shofa Imama, 2008) untuk meminimalkan kesimpang-siuran dan kesalahpahaman masyarakat mengenai ekonomi Islam.
PEMBAHASAN
1. Prinsip Ekonomi Syariah
Ekonomi syariah berbeda dengan ekonomi-ekonomi lainnya, ekonomi sosial maupun ekonomi kapitalis. Ekonomi syariah berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits. Ekonomi syariah memiliki beberapa prinsip dalam menjalankan kegiatan ekonomi yang mengintegrasikan beberapa tatanan kehidupan antara lain spiritual, sosial, politik, dan ekonomi dengan melihat nilai ke maslahatan bagi sesama maupun lingkungan sekitar.
Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, diatur pula Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yang disahkan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008. Dalam KHES terdapat prinsip-prinsip ekonomi syariah yang ternyata prinsipprinsip tersebut dapat dipertahankan sepanjang masa, dapat dipakai sebagai pedoman dalam sistem ekonomi nasional. Dalam prinsip-prinsip ekonomi Islam, antara lain diajarkan bahwa harta bukanlah satu-satunya tujuan kehidupan di dunia, namun harta hanyalah fasilitas atau sarana untuk beribadah kepada Allah.
Beberapa prinsip yang digunakan dalam menjalankan kegiatan ekonomi antara lain Prinsip Tauhid, Prinsip Keadilan, Prinsip Maslahat, Prinsip Ta’awun (Tolong-menolong), Prinsip Keseimbangan (Illy Yanti dan Rafidah, 2009). Prinsip-prinsip tersebut bertujuan untuk mencapai Falah, yakni kemenengan atau kebahagian di dunia dan akhirat.
Prinsip Tauhid, menjadi pondasi paling utama ang menjadi penopang bagi prinsip-prinsip lainnya. Dalam konteks berusaha atau bekerja, terdapat ayat yang dapat memberikan sprit kepada seseorang, bahwa segala bentuk usaha yang dilakukan manusia harus tetap bergantung kapada Allah. Dalam buku, Tafsir wa-Bayan Mufradat al-Qur`an, menterjemahkan Allah al-Shamad (Allah tempat bergantung) dengan “huwa al-wahdah al-maqshud fi al-hawaij”(hanya Allah tempat mengadu dalam segala kebutuhan).
Dampak positif dari prinsip tauhid dalam sistem ekonomi Islam adalah antisipasi segala bentuk monopoli dan pemusatan kekuatan ekonomi pada seseorang atau satu kelompok saja, serta mencegah adanya eksploitasi dan rasa ingin mencari keuntungan berlebih.
Menurut Quraish, pemerintah dibenarkan melakukan intervensi untuk mengontrol apabila sprit ketuhanan atau peran moral sebagian masyarakat pelaku ekonomi, kurang memadai untuk mengendalikan keinginannya. Misalnya, harga-harga kebutuhan pokok, walaupun pada dasarnya harga barag termasuk kebutuhan pokok diserahkan pada mekanisme pasar.
Prinsip Keadilan, Kata adil berasal dari kata Arab/‘adl yang secara harfiyah bermakna sama. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, adil berarti sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar dan sepatunya. Dengan demikian, seseorang disebut berlaku adil apabila ia tidak berat sebelah dalam menilai sesuatu, tidak berpihak kepada salah satu, kecuali keberpihakannya kepada siapa saja yang benar sehingga ia tidak akan berlaku sewenagwenang
Dalam operasional ekonomi syariah keseimbangan menduduki peran yang sangat menentukan untuk mencapai falah (kemenangan, keberuntungan). Dalam terminologi fikih, adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan sesuatu hanya pada yang berhak serta memperlakukan sesuatu pada posisinya (wadh‘ al-syai` fi mahallih). Implementasi keadilan dalam aktivitas ekonomi adalah berupa aturan prinsip interaksi maupun transaksi yang melarang adanya unsur:
a. Riba
Islam melarang riba dengan segala bentuknya, karena bertentangan dengan prinsip kemanusiaan, persaudaraan dan kasih sayang. Banyak ayat dan hadis yang memberikan gambaran tentang maksud, tujuan, dan hikmah pengharaman riba dalam sistem ekonomi Islam. Dalam Al-Qur’an, riba disebut delapan kali dalam empat surah yang berbeda, yakni satu kali dalam ayat 39 surah al-Rûm, satu kali dalam ayat 161 surah al- Nisâ’, satu kali dalam ayat 130 surah Âli ‘Imrân, tiga kali dalam ayat 275 surah al- Baqarah, satu kali dalam ayat 276 surah al-Baqarah, dan satu kali dalam ayat 278 surah al-Baqarah. ( Mujar Ibnu Syarifi, 2011).
Riba merupakan salah satu rintangan yang seringkali menggiurkan banyak orang untuk mendapatkan keuntungan. Secara umum riba berarti bertambah baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Menurut etimologi, kata al-riba bermakna zada wa nama yang berarti bertambah dan tumbuh. Larangan riba juga tertulis jelas dalam Q.S Ali `Imran ayat 130, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.s. Âli ‘Imrân [3]: 130).
Banyak pendapat mengenai riba, menurut jumhûr fukaha, riba itu terbagi dalam dua kategori, yakni riba nasî‘ah dan riba fadhl. Sementara menurut Mazhab Syâfi‘î, riba dibedakan menjadi tiga macam, yakni riba nasî’ah, riba fadhl, dan riba yad. Jumhûr fukaha, memasukkan riba yad ini ke dalam kategori riba nasî’ah. Riba tetap haram hukumnya, baik dalam kadar yang sedikit aja, maupun dalam kadar yang berlipat ganda. Sebab, meskipun ditetapkan dalam kadar yang sedikit saja, secara na-tural, seiring bertambahnya waktu, riba yang sedikit lama-kelamaan pasti akan berubah menjadi berlipat ganda juga.
b. Maisir, Judi/al-maisir ( الميسر )
Maisir mengandung beberapa pengertian di antaranya ialah: lunak, tunduk, keharusan, mudah, gampang, kaya, membagi-bagi, dan lain-lain. Secara bahasa semakna dengan qimar, artinya judi, yaitu segala bentuk perilaku spekulatif atau untung-untungan. Islam melarang segala bentuk perjudian. Pelarangan ini karena judi dengan segala bentuknya mengandung unsur spekulasi dan membawa pada kemudaratan yang sangat besar. Perbuatan yang dilakukan biasanya berbentuk permainan, taruhan, maupun perlombaan dengan berbagai media seperti lotre, nomor, dadu, gambar dan lain sebagainya.
Larangan terhadap judi dapat ditemukan dalam sejumlah ayat Alquran dan teks-teks hadi Nabi saw. Di antara ayat Alquran yang melarang praktek perjudian adalah Surat al-Baqaraħ (2) ayat 219 dan Surah al-Maa’idah ayat 90-91
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya." Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.” (Q.S Al-Baqarah : 219)
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum)khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib denganpanah, adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan syaitan. Makajauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhandan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudiitu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Makaberhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)” (Q.S Al-Maidah ayat 90-91).
c. Gharar.
Dalam bahasa arab gharar adalah al-khathr; pertaruhan, majhul al-aqibah; tidak jelas hasilnya, ataupun dapat juga diartikan sebagai al-mukhatharah; pertaruhan dan al-jahalah; ketidakjelasan (Nadratuzzaman Hosen, 2009). Gharar merupakan bentuk keraguan, tipuan, atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan orang lain. Secara istilah fiqh, gharar adalah hal ketidaktahuan terhadap akibat suatu perkara, kejadian/ peristiwa dalam transaksi perdagangan atau jual beli, atau ketidakjelasan antara baik dengan buruknya. Hashim Kamali (2002:84 dalam Illy Yanti dan Rafidah, 2009) menyebutnya dengan khid’ah, yang berarti penipuan. secara sederhana disimpulkan bahwa garar adalah terkait dengan adanya ketidakjelasan akan sesuatu dalam melakukan transaksi. Islam melarang jual beli atau transaksi yang mengandung garar.Larangan ini didasarkan pada sejumlah dalil Alquran dan hadis. Dalam surat an-Nisa’ ayat 29 secara implisit dijelaskan tentang keharaman transaksi garar: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.”
d. Haram.
Jumhur ulama’ menyimpulkan aturan-aturan yang bersifat umum dalam sebuah kaidah usul yang berbunyi: (al-Suyuthi: 1997: 123)“al-ashl fi al-asyya al-ibahah hatta yadll al-dalil ala tahrimiha” (hukum asal dalam muamalah adalah boleh selama tidak ada dalil yang mengharamkannya). Sejalan dengan kaidah ini, jenis dan bentuk lembaga keuangan dengan segala produknya, yang berkembang di zaman kontemporer, pada prinsipnya dapat diterima sebagai kegiatan ekonomi yang sah, selama tidak ada dalil yang melarangnya. Menurut ulama Hanafiyah, larangan dalam dalam hukum Islam terdiri dari dua kategori, yaitu larangan secara material (materi, zat, atau bendanya) dan larangang disebabkan faktor eksternal. Larangan yang bersifat material disebut haram li dzatih dan larangan yang disebabkan faktor eksternal disebut haram lighairih. Contoh, larangan kategori pertama adalah keharaman daging babi, riba, dan sebagainya. Sedangkan larangan kategori kedua, misalnya menjual barang halal dari hasil curian. Pada dasarnya barang tersebut halal dan tidak dilarang menjualnya, tetapi karena sistem atau cara (operasionalnya) mendapatkannya tidak benar, maka menjualnyapun menjadi terlarang.
Prinsip Maslahat. Hakikat kemaslahatan adalah segala bentuk kebaikan dan manfaat yang berdimensi integral duniawi dan ukhrawi, material dan spritual, serta individual dan sosial. Aktivitas ekonomi dipandang memenuhi maslahat jika memenuhi dua unsur, yakni ketaatan (halal) dan bermanfaat serta membawa kebaikan (thayyib) bagi semua aspek secara integral. Sesuatu dianggap maslahat apabila semua kegiatannya harus memberikan kemaslahatan (kebaikan) bagi kehidupan manusia; perorangan, kelompok, dan komunitas yang lebih luas, termasuk lingkungan.
Dalam konteks pembinaan dan pengembangan ekonomi perspektis syariah, teori maslahat menduduki peranan penting, bahkan menurut para pakar fiqh, semisal al-Syathibi (1997: 25), maslahah (kebaikan dan kemanfaatan yang dia sebut dengan kesejahteraan manusia) dipandang sebagai tujuan akhir dari pensyariatan penetapaan norma-norma syariah.
Dalam surat at-Taubah ayat 60, Allah menerangkan tentang golongan yang berhak menerima zakat. Allah berfirman: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan )budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Alloh dan orangorang yang sedang dalam erjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Alloh : dan Alloh MahaMengetahui Lagi Maha Bijaksana.”
Prinsip Ta’awun (Tolong-menolong). Ideologi manusia terkait dengan kekayaan yang disimbolkan dengan uang terdiri dari dua kutub ekstrim; materialisme dan spritualisme. Materialisme sangat mengagungkan uang, tidak memperhitungkan Tuhan, dan menjadikan uang sebagai tujuan hidup sekaligus mempertuhankannya. Kutub lain adalah spritualisme (misalnya Brahma Hindu, Budha, dan kerahiban Kristen) menolak limpahan uang, kesenangan dan harta secara mutlak. Sementara Islam, berdasarkan beberapa dalil terkait uang dan yang semakna dengannya, menunjukkan bahwa Islam berada di jalan tengah antara dua kutub di atas. Firman Allah dalam surah al-Qashashs/28:77 :
“dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Dengan demikian ada sintesis antara kepentingan individu dan masyarakat. Hal ini berbeda sekali dengan sistem ekonomi komunis dan kapitalis. Selain itu, terdapat hal-hal yang telah lazim dalam ekonomi Islam, seperti sedekah, baik yang wajib maupun anjuran. Shadaqah pada dasarnya merupakan sebuah sistem yang berfungsi untuk menjamin distribusi pendapat dan kekayaan masyarakat secara lebih baik. Dengan kata lain zakat merupakan salah satu instrument dalam ajaran Islam untuk mengayomi masyarakat lemah dan sarana untuk berbagi rasa dalam suka maupun duka antar sesama manusia yang bersaudara dalam keterciptaannya.
Ekonomi Islam memandang bahwa uang harus berfungsi untuk memenuhi kebutuhan pokok, sekunder dan penunjang (daruriyah, hajiyah, dan tahsiniah) dalam rangka mendapatkan ridha Allah secara individual dan komunal. Instrumen untuk mencapai tujuan ini, disyariatkanlah berbagai akad, transaksi, atau kontrak untuk menghindari adanya kedzaliman. Hal tersebut harus tetap memperhatikan cara-cara mendapatkan harta agar tidak ada kemudaratan bagi diri sendiri dan pihak lain,
Prinsip Keseimbangan. Konsep ekonomi syariah menempatkan aspek keseimbngan (tawazun/equilibrium) sebagai salah satu pilar pembangunan ekonomi. Prinsip keseimbangan dalam ekonomi syariah mencakup berbagai aspek; keseimbangan antara sektor keuangan dan sektor riil, resiko dan keuntungan, bisnis dan kemanusiaan, serta pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam. Sasaran dalam pembangunn ekonomi syariah tidak hanya diarahkan pada pengembangan sektor-sektor korporasi namun juga pengembangan sektor usaha kecil dan mikro yang tidak jarang luput dari upaya-upaya pengembangan sektor ekonomi secara keseluruhan.
2. Pedesaan
Pedesaan memilki banyak pengertian, karena dapat di kaji dari berbagai aspek, yaitu : a) Aspek geografis, diartikan sebagai perpaduan kegiatan manusia dengan lingkungannya, b) Aspek psikologis social, dilihat pada derajat intimitas pergaulan masyarakat, c) Segi jumlah penduduk kurang dari 2.500 orang, d) Aspek ekonomi dilihat pada perhatian masyarakat di bidang pertanian. (Nora Susilawati, 2014)
Masyarakat pedesaan atau desa dapat diartikan sebagai masyarakat yang memiliki hubungan yang lebih mendalam dan erat dan sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan. Masyarakat pedesaan identik dengan istilah gotong royong yang merupakan kerja sama untuk mencapai kepentingan kepentingan mereka. Masyarakat pedesaan bersifat homogen, seperti dalam hal mata pencaharian, agama, adat istiadat, dan sebagainya.
Pedesaan memiliki aspek yang berbeda-beda di setiap daerahnya, menyebabkan timbul kebiasaan dan adat istiadat (‘urf) yang bervariatif. Menurut Abdul Karim Zaidah (dalam Khikmatun Amalia, 2020) istilah ‘urf berarti sesuatu yang telah dikenali oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan dikalangan mereka, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun pantangan-pantangan dan juga bisa disebut dengan adat.
Para ulama ushul fiqh membagi ‘urf kepada tiga macam:
1. Dari segi objeknya,’urf dibagi kepada:
a. Al-‘urf al-lafzhi.adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat.
b. Al-urf al-‘amali. Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan,
2. Dari segi cakupannya,’urfterbagi dua yaitu
a. Al-‘urf al-‘am adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah.
b. Al-‘urf al-khasadalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu.
3. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’,’urf terbagi dua:
a. Al-‘urf al-shahih adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadist), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka.
3. Implementasi Nilai-Nilai Ekonomi Syariah di Daerah Pedesaan
Implementasi nilai-nilai Ekonomi syariah belum sepenuhnya terwujud. Terbukti dengan banyaknya penelitian yang menunjukkan adanya pelanggaran dari prinsip-prinsip ekonomi syariah, seperti penelitian Rahmawati Muin dan Hadi (2018) yang berjudul Perilaku Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Arisan Lelang Dalam Perspektif Ekonomi Islam (Studi Kasus Masyarakat Desa Paomacang Luwu Utara). Penelitian tersebut menunjukkan adanya kegiatan Arisan Lelang atau biasa disebut dengan arisan tembak yang sudah menjadi tradisi masyarakat di Desa Paomacang Kecamatan Sukamaju Kabupaten Luwu Utara. Seringkali para anggota melakukan persaingan harga yang relatif tinggi dengan unsur kesengajaan. Karena besarnya tingkat kerugian tergantung berapa banyak anggota yang ikut serta dalam proses lelang, semakin banyak anggota yang melakukan lelang maka semakin kecil pula kemungkinan untuk mendapatkan arisan. Maka para anggota tidak tanggung-tanggung melakukan lelang dengan harga yang tinggi agar dapat memenangkan arisan tersebut. Dalam hal ini sering terjadi perilaku negatif yang akhirnya menjadi kebiasaan masyarakat setempat.
Hal ini tentu tidak sesuai dengan prinsip ekonomi Islam. Karena meskipun dalam arisan lelang ini ada unsur tolong menolong yang sesuai dengan prinsip ekonomi syari'ah, teatapi ada juga unsur kezhaliman yang merugikan salah satu pihak dari peserta yang mengikuti kegiatan arisan lenang tersebut. Sebaiknya dalam penentuan pemenang arisan tidak lagi menggunakan sistem lelang. Akan tetapi, ketua arisan menyaring terlebih dahulu permasalahan para peserta mengenai kebutuhannya masing-masing terutama dalam hal keuangan. Sehingga, dalam menentukan pemenang arisan lebih mudah karena adanya keterbukaan antar peserta dibandingkan dengan menggunakan sistem lelang yang dapat menimbulkan kerugian, dengan ini arisan akan kembali ke fungsinya sebagai tempat menabung dan kegiatan tolong-menolong antar peserta.
Penelitian lain dari Endah Yuliani (2018) juga membahas sistem jual beli tebasan yang kini berkembang dan dilakukan oleh masyarakat di Desa Puntukrejo Kecamatan Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar. Jual beli tebasan yaitu jual beli tanpa harus ditimbang, ditakar maupun dihitung, akan tetapi jual beli ini dilakukan dengan cara menaksir jumlah objek transaksi setelah melihat dan menyaksikan secara cermat. Objek dalam jual beli tebasan di wilayah tersebut adalah ubi jalar yang ditaksir (diperkirakan) sudah siap panen, dalam praktik tersebut objek yang menjadi jual beli masih tertanam di dalam tanah, yang menjadi problematika dalam jual beli ubi jalar dengan cara tebasan tersebut adalah ketidak jelasan kuantitas dan kualitas ubi jalar yang diperjual belikan.
Salah satu syarat sahnya jual beli adalah mengetahui, maksudnya adalah barang yang diperjualbelikan dapat diketahui oleh penjual dan pembeli dengan jelas, baik zatnya, bentuknya, sifatnya dan harganya. Sistem jual beli seperti ini, bertetangan dengan sistem ekonomi syariah yang dikarenakan akan ada salah satu pihak yang dirugikan karena adanya ketidak pastian kondisi ubi jalar yang masih di dalam tanah tersebut. Sebaiknya dalam melakukan jual beli ubi jalar dengan sistem tebasan supaya memberikan kemaslahatan antar sesama pembeli dan penjual harus lebih berhati-hati dalam melakukan akad jual belinya yang mencakup syarat” yang dijanjikan supaya jika ada sesuatu kurang dan lebihnya dari kondisi ubi jalar tersebut, maka penjual dan pembeli bisa melakukan negosiasi lagi, sehingga tercipta kemaslahatan antara pembeli dan penjual, sehingga hati pun merasa tidak khawatir dikarenakan objek belum dapat dipastikan terkait kualitas ataupun kuantitasnya.
Pengetahuan masyarakat tentang riba di Kecamatan Anreapi Kabupaten Polewali Mandar masih tergolong rendah (Irawati dan Akramunnas, 2018.) Menurut peneliti ini di karya tulisnya yang bejudul Pengetahuan Masyarakat Tentang Riba Terhadap Perilaku Utang Piutang di Kecamatan Anreapi Polewali Mandar masih mengģunakan sistem riba pada hal pinjam meminjam. Hal ini terlihat dari praktik ekonomi yang dilakukan masyarakat masih banyak mengandung unsur riba, seperti memberi pinjaman sementara yang adanya tambahan yang disyaratkan oleh pemberi pinjaman kepada yang meminjam uang, praktik gadai tanah dimana si peminjam uang memberikan jaminan tanah kepada pemberi pinjaman dan hasil lahan menjadi hak pemberi pinjaman. Tidak hanya itu, SPP dana desa melakukan utang piutang antara sesama warga yang pengembaliannya disertai dengan bunga, pembayaran dilakukan setiap bulan sesuai aturan dan masih banyak lagi hal-hal yang terjadi di lingkungan masyarakat didalamnya mengandung unsur riba tanpa disadari.
Dari banyaknya pelanggaran nilai-nilai ekonomi syari’ah di pedesaan, ada pula penelitian yang menunjukkan pedesaan yang sudah mengimplementasikan nilai-nilai ekonomi syariah secara sengaja maupun tidak sengaja, secara terun temurun ataupun tidak. Penelitian Mantoro Adi (2014) yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam terhadap jual beli buah jambu alpukat musiman (Studi kasus di Desa Kota Batu Kecamatan Warkuk Ranau Selatan Sumatra Selatan). Penelitian ini membahas mengenai penetapan harga dalam jual beli buah jambu alpukat. Menurut peneliti, mengenai penetapan harga jual beli buah jambu alpukat musiman tidak bertentangan dengan Hukum Islam karena secara al-urf (termasuk al-urf amm) kebiasaan yang sudah berlaku turun temurun. Menurut peneliti ini proses kegiatan jual beli yang terjadi di wilayah tersebut sudah sesuai dengan ajaran hukum yang di tetapkan oleh islam karena berlandaskan atas dasar Al Urf yang berarti kebiasan atau adat. Syarat Al urf di jadikan sebagai dasar yaitu: 1. Urf mengandung kemaslahatan yang logis. 2. Urf tersebut berlaku umum pada masyarakat yang terkait dengan lingkungan ‘urf, atau minimal dikalangan sebagian besar masyarakat. 3. Urf yang dijadikan dasar bagi penetapan suatu hukum telah berlaku pada saat itu, bukan ‘urf yang muncul kemudian. Berarti ‘urf ini harus telah ada sebelum penetapan hukum. Kalau ‘urf itu datang kemudian, maka tidak diperhitungkan. 4. Urf itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan hukum yang dikandung nash itu tidak bisa diterapkan.
Hal positif tersebut di dukung oleh penelitian Rahmawati, M.Ag dan Kamisnawati (2015) yang menunjukkan masyarakat di desa Belawa Baru kecamatan Malangke telah melakukan kegiatan jual beli sesuai dengan syariat islam, dibuktikan dengan beberapa hasil observasi peneliti yakni; para pedagang yang ada di pasar Belawa Baru sebelum melakukan proses berdagang harus didahului dengan niat. Sistem berdagang yang dilakukan dipasar Belawa Baru dari segi kualitas dan jenis barang yang dijual pada umumnya tidak bertentangan dengan hukum Islam, asal pelaksanaannya tidak bertentangan atau menyimpang dari kejujuran dan ketentuan tentang larangan menjual barang. Dilihat dari rukun berdagang sudah dapat dikatakan sesuai dengan rukun yang telah di anjurkan dalam hukum Islam. Terbukti setiap transaksi yang dilakukan tidak ada penjual yang masih belum cukup umur dalam berdagang. Terdapat pula Kerelaan dalam proses tukar menukar barang yang diinginkan dan juga jelasnya barang yang akan di perdagangkan di pasar Belawa Baru.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan kami dengan menijau dari berbagai sumber yang menyangkut tentang implementasi nilai-nilai ekonomi islam yang ada di pedasaan. Peng-implementasi-an nilai-nilai ekonomi di pedesaan masih relatif rendah dengan dibuktikan penelitian-penelitian yang ada, namun ada pula pedesaan yang secara sengaja atau tidak sengaja telah menerapkan nilai-nilai ekonomi syariah. Pelanggaran yang sering dilakukan anatara lain ketidakjelasan bertransaksi (gharar), pengambilan riba dan sebagainya. Hal-hal tersebut terjadi karena ketidaktahuan, kurangnya pengetahuan, atau adat istiadat.
Hadirnya sistem ekonomi Islam di perdesaan akan mampu menjadi alternatif dalam memperbaiki kehidupan masyarakat perdesaan yang mayoritas berada dalam jerat kemiskinan. Kemampuan tersebut mengacu pada prinsip dan praktik ekonomi Islam yang mengedepankan keseimbangan kebutuhan individual dan kelompok untuk mencapai kesejahteraan (falah). Upaya ini sangat relevan dengan watak usaha ekonomi perdesaan yang lebih bersifat usaha kecil, mikro dan menengah. Sedangkan ekonomi Islam lebih perhatian pada jenis usaha tersebut.
Pengembangan sistem ekonomi Islam di perdesaan Indonesia diproyeksikan memiliki prospek yang cerah. Faktor pemahaman menjadi persoalan utama, meskipun pada dasar mayoritas penduduk indonesia adalah muslim. Namun potensi itu belum tergarap secara optimal. Untuk itu perlu sosialisasi atau dakwah secara terus menerus, dengan memanfaatkan berbagai instrumen keislaman, dan media massa dalam berbagai bentuk dan juga pembuktian kapasitas sistem ekonomi Islam dalam menjamin stabilitas dan kesejahteraan ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Amalia , Khikmatun. 2020. ‘Urf Sebagai Metode Penetapan Hukum Ekonomi Islam. As-Salam I Vol. Ix No. 1, Th. 2020 Edisi: Januari-Juni 2020
2. Baiquni, Syawaqi, Aziz. 1996. Indeks Al-Qur’an Cara Mencari Ayat Al-Qur’an. Surabaya : Arkola.
3. Endah Yuliani . 2018. Praktik Jual Beli Ubi Jalar Sistem Tebasan Ditinjau dari Hukum Ekonomi Islam (Studi Kasus Di Desa Puntukrejo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar). Skripsi Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (Iain) Surakarta.
4. Firdaus, Feri. 2018. Praktik Jual Beli Musiman (Studikasus Di Desa kecandran kecamatan sidomukti Kota Salatiga). Skripsi Progam Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (Iain) Salatiga.
5. Hosen, Nadratuzzaman. 2009. Analisis Bentuk Gharar Dalam Transaksi Ekonomi. Al-Iqtishad: Vol. I, No. 1, Januari 2009
6. Illy Yanti dan Rafidah-. 2009. Ekonomi Islam Dalani Sistem Ekonomi Indonesia (Studi tentang Prinsip-prinsip Ekonomi Islam dalam KHES dan Implementasinya terhadap Ekonomi Nasional). Kontekstualita Vol.25 No. 1, Juli 2009
7. Imama, Lely Shofa. 2008. Ekonomi Islam: Rasional dan Relevan. La_Riba Jurnal Ekonomi Islam: Vol. Ii, No. 2, Desember 2008
8. Irawati dan Akramunnas. 2018. Pengetahuan Masyarakat Tentang Riba Terhadap Perilaku Utang Piutang Di Kecamatan Anreapi Polewali Mandar. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Alauddin Makassar. LAA MAISYIR, Volume 5, Nomor 2, Desember 2018: 109-122 .
9. Muin, Rahmawati dan Hadi . 2018. Perilaku Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Arisan Lelang Dalam Perspektif Ekonomi Islam (Studi Kasus Masyarakat Desa Paomacang Luwu Utara). Skripsi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Laa Maysir, Volume 5, Nomor 1, Januari 2018
10. Mursal. 2015. Implementasi Prinsip-Prinsip Ekonomi Syariah: Alternatif Mewujudkan Kesejahteraan Berkeadilan. Jurnal Perspektif Ekonomi Darussalam Volume 1 Nomor 1, Maret 2015
11. Rahmawati dan Kamisnawati. 2015. Sistem Perdagangan Dalam Perspektif Ekonomi Islam Pada Pusat Niaga Desa Belawa Baru Kec. Malangke . Jurnal Muamalah Vol V No 2, Desember 2015
12. Susilawati, Nora. 2012. Sosiologi Pedesaan. Padang : Universitas Negeri Padang
13. Syarif, Mujar Ibnu. 2011. Konsep Riba Dalam Alquran dan Literatur Fikih. Al-Iqtishad: Vol. III, No. 2, Juli 2011